Ruangan persegi panjang di siang itu, ruangan yang akan
merubah segalanya untukku sebagai pribadi, hari itu ayah baru saja pulang dari
sekolahku, beliau mengambil sebuah buku yang berisi laporan penilaianku (rapot semester) yang menggambarkan
bagaimana selama kelas 4 aku di Sekolah Dasar, bisa dikatakan dan hari itu
adalah hari yang cukup menegangkan
bagi anak kecil seusiaku.
Siang itu ayah menyuruhku duduk diruangan itu, ruang tamu di
rumahku, bersama ibu dan kakak perempuanku, “cong,
bisakah kesini sebentar nak?”, kulihat disana sudah ada ibu dan kakak
perempuanku yang sudah terlebih dahulu duduk menunggu, ku jawab “iya pak, ada apa?”, “ku pikir, oh.. mungkin ini mengenai nilai
rapotku” (dalam hati), ditempat duduknya beliau berkata, “yasudah sini saja, ada beberapa hal yang harus
di obrolkan”, jawabnya, segeralah saya mengambil posisi dikursi pojok
ruangan ini, yang kebetulan kosong.
Melalui siang dengan suasana yang biasa-biasa saja waktu itu
beliau (Ayahku) menunjukkan hasil rapotku
(hasil belajarku), dilanjutkan ucapan selamat
dari kakak dan ibuku, Alhamdulillah dari nilai yang kulihat, meskipun ranking 2, hehehe….., tapi tak apalah, bagiku (waktu itu) atau bahkan
mungkin sampai hari ini nilai tak berarti apapun, apa yang berbentuk angka itu
hanya “batasan” (menurutku), tapi
ternyata, tapi nyatanya, tidak bagi mereka-mereka
hari itu, yang duduk bersama diruangan ini, ayah (beliau) berkata, “jadi begitulah nilai rapotmu”, sambil mengambil
buku itu dari tanganku, kemudian dipegang dan ditunjukkan buku (rapot) yang ku
pegang dan kulihat tadi, ku jawab waktu
itu “iya yah”, beliau kemudian
melanjutkan obrolan, “ kamu ingin hadiah
apa dari ayah?”, ah aku kaget waktu, “em..
untuk apa, ah tidak aku tidak ingin apa-apa yah”, jawabku singkat sambili
menunduk tidak percaya apa yang sedang beliau katakan, kemudian ayah menjawab, “yakin? Tidak ingin sesuatu? Entah apa yang
kamu butuhkan mungkin nak”?, sempat ingin mengatakan sesuatu, em… tapi kuputuskan dengan sangat
menyesal waktu itu, “ah tidak yah.. aku tidak
butuh apa-apa”, jawabku sambil memberikan senyum kepada mereka yang duduk
disana.
Keesokan harinya pagi itu ayah membangunkanku dari tidur, kebetulan hari itu hari libur, “nak.. bangun, sudah pagi”, dengan jawaban sedikit malas aku menjawab, “em… aku masih ngantuk yah, nanti saja ya”, jawabku sambil membetulkan posisi tidurku, setelah itu ayah berkata sesuatu, untuk pertama kali dengan kalimat yang menurutku panjang-lebar, baru kali ini beliau berkata yang sepertinya serius sekali padaku, beliau berkata begini, “cong, ayah membawakanmu barang yang mungkin kamu butuhkan, yang kamu suka”, …. Seketika ruangan ini menjadi hening, sangat hening!, aku pun masih diam tanpa kata, beliau melanjutkan, “ayah mencarikannya semalam melalui teman-teman ayah dikota, ketika ayah datang membawa barang ini kamu sudah tidur, anggap ini sebagai hadiah untukmu, untuk anak kecil yang suka menyembunyikan sesuatu dari ayah, kamu suka berbohong ya…? (kulihat raut wajahnya tersenyum, ayah sepertinya sedang bahagia, aku pun bangun dari tidur), beliau melanjutkan perkataannya lagi, “ tapi tak mengapa kok nak, setelah melihat rapotmu, sekolahmu, apa yang sudah kamu perjuangkan, dari apa yang kamu kerjakan kemarin sampai hari ini, sejak hari kemarin ini bagi ayah kamu adalah (jenius) dengan caramu, kamu banyak memakan perasaanmu untuk menjaga perasaan ayah, kamu sudah berpura-pura tak mencintai, bahkan menjauh, mengorbankan apa yang kamu suka demi ayah, bagiku ini sesuatu, kamu hebat nak, maka dari itu ayah memberikanmu barang ini, terimalah hadiah ini sebagai terima kasihku untuk nilai dari cinta tannggung jawabmu untuk ayah, ayah sangat bangga!”.
Hari itu menjadi titik awal dimana aku semakin percaya diri dari sebelumnya, sebelum ini, aku suka berbohong pada beliau, diam-diam aku sering ke studio untuk latihan band, disela-sela pulang sekolah biasanya aku kabur terlebih dahulu kerumah mas ku yang kebetulan jaraknya hanya 50 meter dari rumah, hanya untuk sekedar bermain gitar, biasanya diwaktu siang, gitar mas Dedy (si pemilik gitar) sedang “nganggur” alias tidak ada yang memakai karena mas Dedy belum pulang kerja di jam-jam itu, dari situ kujadikan diwaktu siang (setiap hari) sebagai kesempatan melampiaskan keinginanku, kesenanganku, menguasai gitar itu untuk bermain-main (belajar sendiri).. hehehe, oke lanjut… sejak saat itu pula aku tidak usah berbohong lagi atau sembunyi-sembunyi dari ayah (hanya) untuk sekedar nge-band, main musik, bergaul (berteman dengan siapapun) dan sebagainya, beliau memberikan kebebasannya padaku (anak kecil ini).
Yang sangat disayangkan (hingga hari ini), waktu itu aku jawab segala sesuatu yang sebenarnya penting di hari itu dengan kata singkat “terima kasih yah”, sambil ku peluk beliau, ia… aku masih ingat, ini pelukan pertamaku (yang kulakukan secara sadar), tapi waktu itu aku masih belum sadar betapa pentingnya kata, pesan dan makna dari hari itu, yang aku tau aku telah mendapatkan apa yang aku butuhkan dari beliau, yang membawaku sampai pada hari ini.
Akhir sekali pada tulisan ini, aku hanya ingin memberitahukan, bahwa hari itu adalah hari pertamaku berbicara pada beliau untuk hal yang sangat serius, hari pertamaku mempunyai gitar sendiri, gitar dari ayah, yang sampai hari ini masih ada, masih ada!!, masih tersimpan, oh tidak (menarik nafas).. hm…. seandainya waktu itu aku bukan anak kecil yang hanya bisa berpikir lebih dari itu, aku akan berterima kasih banyak untuk hari itu padamu yah, maafkan aku waktu itu, setelah ku sadar, ternyata dari situ, sejak saat itu ayah (beliau) memberikan seluruhnya padaku, hingga aku menjadi seperti ini sekarang, diakhir kalimat kata yang beliau katakan waktu itu, beliau berpesan, yang akan ku ingat sampai kapanpun, beliau berpesan padaku setelah memberikan gitar itu, “Rawatlah cintamu ini nak, aku tahu gitar ini tidak mahal, tapi cobalah, ciptakan lagu terbaik untuk dunia, dan buktikan pada ayah, cintamu memang –pantas!”.
0 Comments